Minggu, 16 Oktober 2011

Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan

1. Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008),
lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada
gambut dangkal (< 100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal
memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih
rendah dibandingkan gambut dalam.
Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas
kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama
adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan
tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung,
kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya (Gambar 6).



2. Pengelolaan air
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi
pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman.
Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi
sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi

drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh
untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik.
Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin
tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin
dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut
(akan diuraikan lebih lanjut dalam Bagian 5.2).

Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan
3. Pengelolaan kesuburan tanah
Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya
ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran
tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat
diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah
(Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999; Tabel 2).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH

5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH
sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh
buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan
bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak
baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al,
1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika,
2004; Subiksa et al., 1997).

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat
rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg.
Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang
dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split
application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk
yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan
SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah
(Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan
menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan
hara P melalui pencucian (Rachim, 1995)
Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan
organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti
terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15 kg ha-1 tahun-1, mangan
sulfat 7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg ha-1
tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman
padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.
4. Strategi petani dalam meningkatkan kesuburan tanah gambut
Karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan
bahan amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar
seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek
ini dapat ditemukan di kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman
pangan secara tradisional di berbagai tempat di Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara ini petani mendapatkan
amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun abu
hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan kesuburan
tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa
memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden,
miningkatkan emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan
serta mempengaruhi lalu lintas.
Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan
secara terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah
mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan
baik di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah
harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di
bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar.
Dalam jangka panjang pembakaran seresah dan gambut perlu dicegah untuk
menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan
bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk
bagi petani.

sumber :
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberi Tanggapan Atau Komentar, Kometar Spam akan Kami Hapus.